Skip to main content
Artikel

Pentingnya Ruu Ekonomi Syariah Sebagai Dasar Hukum Dalam Mewujudkan Indonesia Menuju Pusat Ekonomi Syariah Dunia

Pandemi Covid-19 membawa dampak yang sangat besar dalam perekonomian bangsa Indonesia. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi sebesar -5,32% pada triwulan II 2020[1]. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk mengurangi dampak Covid-19[2]. Program PEN bertujuan melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selama pandemi Covid-19[2]. Pandemi Covid-19 ini dapat dijadikan sebuah momentum untuk para pelaku ekonomi syariah dalam mengambil peran yang lebih besar dalam membantu pemulihan perekonomian bangsa, salah satunya dengan membahas RUU Ekonomi Syariah.

Hingga saat ini, landasan hukum mengenai perbankan syariah, zakat dan wakaf, pasar modal syariah memang sudah ada, namun payung hukum secara makro dalam hal ini adalah RUU Ekonomi Syariah masih belum ada. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. M. Syafii Antonio, M.Ec, Wakil Ketua III Dewan Pertimbangan DPP IAEI sebagai keynote speech dalam webinar yang diselenggarakan oleh Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) dengan judul “Urgensi RUU Ekonomi Syariah dalam Rangka Optimalisasi Kontribusi Ekonomi Syariah dalam Perekonomian Nasional”, menyatakan bahwa adanya RUU Ekonomi Syariah akan menciptakan peluang yang lebih besar bagi aktifitas ekonomi syariah untuk memperbesar dampak sosio-ekonomi dalam perekonomian nasional. RUU Ekonomi Syariah akan membentuk peraturan dan arah kebijakan yang jelas sehingga sub-sektor ekonomi dan keuangan syariah mampu tumbuh secara maksimal. Selain itu, adanya RUU Ekonomi Syariah mempu menjadi landasan hukum yang kuat dalam penyusunan formulasi kebijakan pemerintah untuk pemberian insentif fiskal dan non-fiskal. Dalam webinar tersebut yang diselenggarakan pada tanggal 29 September 2020 melalui aplikasi Zoom, disebutkan juga bahwa percepatan pengembangan sektor industri halal dan keuangan syariah akan dengan lebih mudah tercapai karena telah tersedia dasar hukum bagi pembentukan lembaga atau mekanisme koordinasi pengembangan ekonomi syariah.

Indonesia memiliki banyak sekali potensi yang tidak dimiliki oleh negara lain sebagai kiblat perekonomian syariah dunia. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sedemikian besarnya, umat muslim di Indonesia diperkirakan sebanyak 256,82 juta penduduk dengan interpretasi penduduk Indonesia 2010-2050 mencapai 297,27 juta jiwa[3]. Angka ini merepresentasikan sebanyak 86,4% dari total keseluruhan penduduk merupakan umat muslim[3]. Selain itu, berdasarkan State of Global Islamic Economy Report 2019/20 Indonesia meraih peringkat kelima dari yang sebelumnya berada di peringkat ke sepuluh berdasarkan akumulasi penilaian dari ketujuh sektor industri halal, antara lain sektor makanan (halal food), fashion (modest fashion), media dan rekreasi (media & recreation), pariwisata (muslim-friendly travel), farmasi (halal pharmaceuticals), kosmetik (halal cosmetic), dan keuangan (islamic finance)[4]. Sedangkan untuk sektor keuangan, dari yang sebelumnya menduduki peringkat enam di tahun 2018/19, sekarang Indonesia menduduki peringkat satu dunia.

Abdul Rasyid, SHI., MCL., Ph.D sebagai Ketua Bidang Pengembangan Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam DPW IAEI DKI Jakarta, memaparkan bahwa industri halal di Indonesia mempunyai potensi besar untuk berkembang, namun sayangnya saat ini Indonesia belum menjadi pemain utama di tingkat global. Indonesia masih merupakan konsumen produk halal, bukan produsen. Berdasarkan Global Islamic Economic Report 2019/20, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan Brazil yang merupakan eksportir produk halal nomor 1 di dunia dengan nilai USD 5,5 milyar, dan disusul kemudian oleh Australia dengan nilai ekspor USD 2,4 milyar.

Adapun berdasarkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 yang dirangkum oleh Abdul Rasyid, SHI., MCL., Ph.D, bahwasanya terdapat beberapa tantangan pengembangan ekonomi syariah, salah satunya pada industri halal di Indonesia, yaitu (1) regulasi industri halal yang belum memadai, (2) literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang masih kurang, (3) interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah, (4) peningkatan konsumsi dan kebutuhan produk halal di dalam negeri yang tidak diimbangi dengan jumlah produksinya, (5) tata kelola dan manajemen risiko sektor halal yang belum memadai, (6) pemanfaatan teknologi belum optimal pada industri halal, dan (7) standar halal Indonesia belum dapat diterima di tingkat global.

Dr. Amirsyah Tambunan MA sebagai Wakil Sekretaris Jenderal MUI menambahkan bahwa tantangan Indonesia untuk mampu menjadi pusat halal dunia adalah terletak pada tiga hal, yaitu sumber daya manusia, regulasi, dan pembiayaan atau modal. Saat ini perguruan tinggi sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia belum mampu menciptakan link and match. Para akademisi perlu turun ke lapangan untuk mengkorelasikan antara ekspektasi dunia usaha yang membutuhkan sumber daya manusia dengan design perguruan tinggi yang mencetak sumber daya manusia terkait. Sedangkan regulasi ekonomi syariah yang kuat dibutuhkan untuk mendokrak pertumbuhan ekonomi syariah. Salah satu agenda yang dikerjakan saat ini adalah melakukan merger bank BUMN syariah, meskipun pelaksanaanya di lapangan tidaklah mudah. Terakhir, tantangan ekonomi syariah berada pada pembiayaan yang saat ini tergolong high cost, yaitu biaya operasional yang tinggi namun returnnya kecil. Kedepannya, pembiayaan ekonomi syariah perlu diseimbangkan antara operasional dan impact yang dihasilkan.

Dari sisi perundang-undangan, Dr. M. Ali Taher Parasong, SH., M. Hum sebagai anggota DPR RI menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait ekonomi syariah masih bersifat sektoral, parsial, dan tidak terkoordinasi secara berkelanjutan. Terdapat tumpang tindih antar aturan berbasis syariah dengan aturan hukum nasional, antara lain yang berkaitan dengan pajak dan sertifikasi tanah wakaf.

Sayangnya isu ekonomi syariah ini masih sebatas teori dan konsep. Teori ini bisa menjadi implementatif jika bernilai di dalam hukum positif nasional. Hukum positif hanya ada pada DPR yang kemudian diundang-undangkan bersama dengan pemerintah. Terdapat dua istilah di DPR, yaitu short list dan long list. Short list merupakan bahasan yang diprioritaskan dalam kurun waktu satu tahun, sedangkan long list dalam jangka waktu lima tahun. Saat ini RUU Ekonomi Syariah belum ada di short list DPR. Pemikiran-pemikiran para pegiat ekonomi syariah perlu terus digaungkan, sehingga DPR memiliki semangat untuk membicarakan RUU ini.

Kementrian Agama, Kementrian Keuangan, lembaga keuangan syariah, dan para pegiat ekonomi syariah harus mampu memberikan rumusan terbaik berkaitan dengan usulannya ke DPR. DPR menunggu rumusan terbaik untuk pembentukan RUU Ekonomi Syariah sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, bahwa terdapat naskah akademik dan RUU yang diajukan. Para pegiat ekonomi syariah dan akademisi bisa mengajukan naskah akademik ini yang mampu menjelaskan secara nyata, konkrit, dan menampung keinginan-keinginan masyarakat secara sistematis.

RUU Ekonomi Syariah adalah kehendak bersama dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum, kepastian hukum, dan keadilan hukum. Kita memiliki agenda besar untuk mewujudkan Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia. RUU Ekonomi Syariah mampu menjadi dasar hukum aktifitas ekonomi syariah dan membentuk mekanisme koordinasi pengembangan ekonomi syariah. Hal ini diharapkan mampu mempercepat tujuan kita menjadi satu lokomotif ekonomi syariah yang paling maju di dunia.

Penulis:
Azisya Amalia Karimasari (Alumni Universitas Airlangga Surabaya)

Daftar Pustaka

Bergabung bersama Kami!
Registrasi sebagai Exhibitor Online!

Untuk mengajukan diri menjadi salah satu exhibitor online di ISEF 2023, silahkan Bapak/Ibu mengisi formulir singkat ini. Setelah mengisi formulir ini, tim ISEF akan menghubungi Bapak/Ibu melalui kontak yang Bapak/Ibu masukkan dalam formulir ini.